Senin, 04 April 2011

Menulis Kreatif: Tips Menulis Puisi

|eastgreenwichnews.com|
Kita banyak mengalami pengalaman hidup yang sangat berkesan dalam perjalanan hidup ini. Sayang jika pengalaman itu berlalu tanpa meninggalkan bekas. Apalagi kalau pengalaman itu bisa bermanfaat bagi orang lain atau berpotensi merubah cara pikir orang lain. 
Untuk bisa bermanfaat bagi dokumentasi pribadi atau untuk kepentingan orang lain, maka pengalaman atau pandangan kita tentang pengalaman hidup, apa yang kita saksikan dan alami, dapat kita tuangkan dalam bentuk tulisan kreatif. Salah satu bentuknya adalah puisi.

Seorang penulis puisi atau penyair tidak akan meremehkan pengalaman-pengalamannya. Segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya selalu tidak luput dari perhatiannya. Dia menjadikan semua itu sebagai sesuatu yang bermakna bagi orang lain.

Banyak orang berpikir bahwa menulis puisi itu rumit. Padahal jika kita telah mencobanya, kerumitan yang terbayangkan itu akan menjadi keindahan yang nyata. Untuk membantu anda menulis, perlu diketahui unsur - unsur apakah yang membentuk sebuah puisi ?

Secara umum orang mengatakan bahwa sebuah puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni bentuk dan isi. Waluyo (1987) berpendapat bahwa struktur fisik puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. Adapun unsur-unsur fisik yang termasuk dalam struktur fisik puisi menurut Waluyo adalah: diksi, pengimajian, kata konkret , majas, versifikasi dan fipografi. Selain itu masih ada unsur yang lain yaitu sarana retorika.

Berikut diuraikan unsur-unsur tersebut:

1. Diksi
Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk menggunakan diksi dengan baik, penulis harus memahami masalah kata dan maknanya, tahu mengaktifkan kosa kata, memilih kata yang tepat dan sesuai dengan situasi dan mengenal corak gaya bahasa sesuai tujuan penulisan.

2. Pengimajian 
Imaji (image) digunakan untuk memberi gambaran yang jelas dan membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran untuk menarik perhatian pembaca. Pengimajian merupakan sarana utama mencapai kepuitisan.

3. Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang diungkapkan penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca.

4. Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif membuat puisi memancarkan banyak makna atau kaya makna. Jenis bahasa figuratif misalnya adalah simile, metafora dan personifikasi.

5. Versifikasi
Versifikasi meliputi ritma (irama), rima (rhytme, pengulangan bunyi di dalam baris puisi) dan metrum (irama yang tetap).

6. Tipografi
Merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam  membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama.

7. Sarana Retorika
Merupakan pola atau gaya yang merupakan keistimewaan, kekhasan seorang pengarang. Sarana retorika disebut juga sebagai muslihat pikiran yang berupa bahasa yang tersusun untuk mengajak pembaca berpikir.

Demikian unsur-unsur pembentuk puisi semoga bermanfaat bagi calon penyair. (***)

Selasa, 22 Februari 2011

PENDIDIKAN DI MINAHASA: "Mange wisa ko ?"

Disimpang Jalan,
PENDIDIKAN di Tanah Minahasa
(editorial Waleta Minahasa edisi  No. 2 thn. I Juni 2010)

“Mange wisa ko ?” atau dalam Bahasa Indonesia berarti: “Mau kemana engkau” mungkin adalah bahasa yang tepat untuk mempertanyakan ke mana arah pendidikan di Tanah Minahasa dalam kekinian dan keakanannya. Pertanyaan yang menyiratkan suatu kebingungan dan ketidakpastian ketika menyoal fakta dari suatu objek bernama pendidikan yang semestinya harus memiliki arah dan tujuan yang jelas. Namun ternyata berada di simpang jalan......

Yah, bicara pendidikan kita pasti memahami bahwa bidang yang satu ini punya goal yang pasti. Dalam bahasa awam, tujuan pendidikan sederhananya adalah untuk membuat manusia yang mengenyam pendidikan menjadi manusia yang cerdas, yang otaknya mengunyah aneka pengetahuan atau dalam bahasa kerennya, menjadi Tou Ngaasan. Hal mana dibahasakan oleh konstitusi kita, UUD 1945, sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau tujuannya sudah jelas, mengapa mange wisa ko masih menjadi kalimat pertanyaan pilihan bagi kita ketika menyoal pendidikan di negeri tercinta Minahasa ? Apakah arah perjalanan pendidikan di negeri yang sempat mencetak tenaga pendidik bagi Tou di negeri lain ini sedang mengalami disorientasi ? Apakah lika-liku perjalanannya telah tercerabut dari rel yang benar ? Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kelahiran doktor matematika pertama Indonesia ini ?
Bacerita tentang pendidikan memang cukup rumit ternyata. Sekolah, perguruan tinggi, guru, murid, dosen, mahasiswa, kurikulum, barulah sebagian kecil dari perkakas-perkakas yang mengkonstruksi bangunan pendidikan kita.
Tetapi pada akhirnya dalam kerumitan-kerumitan sistem tersebut, kita, dalam menilai berhasil-tidaknya pendidikan, paling gampang dengan melihat buah dari pendidikan tersebut. Apakah buahnya baik atau tidak. Apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Selanjutnya, apakah bisa bereproduksi dengan pola dan hasil yang baik.
Sederhananya, buah pendidikan itu akan baik jika mampu membawa kesejahteraan. Yang dimaksud dengan buah disini adalah output dari pendidikan itu sendiri.
Lalu, bagaimana buah dari perjalanan proses pendidikan di Tanah Minahasa ini ?
Fakta kekinian berbicara bahwa Tou Minahasa sebagai “buah” atau output dari pendidikan masih banyak yang terbelunggu dalam pengangguran dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik Sulut Desember 2009, jumlah pengangguran untuk keadaan Agustus 2009 sebanyak 110.957,  suatu angka yang bukan sedikit.  Angka yang berpotensi bertambah seiring dengan laju penamatan lulusan SMA, SMK dan Perguruan Tinggi.
Sampai disini, apa yang salah dengan pendidikan kita ?
Rupanya pendidikan kita di zaman sekarang belum mampu menyiapkan tenaga yang bukan hanya siap dipakai tapi siap memakai ilmunya. Pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan yang mampu mencipta, berinovasi dan mandiri.  Pendidikan kita belum mampu membebaskan !!!
Inilah sebenarnya jawaban substansial dari pertanyaan mange wisa ko di atas. Pendidikan di Tanah Minahasa harus mampu menghasilkan manusia yang bukan cuma ngaasan dalam pengertian berilmu, tetapi mampu menggunakan ilmu untuk menghidupi dirinya dan sesama (Tumou Tou). Pendidikan Minahasa harus mengarah pada pendidikan yang membebaskan karena manusia yang memiliki kebebasanlah yang kelak akan menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. Dan manusia yang kreatif dan inovatif-lah yang kelak menjadi manusia mandiri. Tidak tergantung pada peluang-peluang menjadi PNS atau orang upahan.
Kita harus banyak belajar dari dinamika historis pendidikan di negeri Minahasa ini. Banyak orang menganggap bahwa peran lembaga zending dan pemerintahan kolonial sangat  besar bagi perkembangan pendidikan modern dan introduksi sistem sekolah dan sumekolah sebagai wujud akulturasi budaya pendidikan.
Sekalipun demikian, dalam konteks pertanyaan mengenai arah kekinian pendidikan Minahasa kita harus banyak belajar pada sebuah model pendidikan asli Minahasa: Papendangan !!! 
Papendangan adalah sebuah model pendidikan yang komprehensif. Para pelajar (pahayoan) bukan cuma belajar aspek kognisi (pemahaman teoritis ilmu pengetahuan) semata tetapi mereka mendapatkan pemahaman dari aspek Afektif (sikap) lewat pelajaran kenaramen (adat istiadat dan kepercayaan), juga aspek keterampilan (psikomotorik) berupa keterampilan bertani dan berburu bahkan berperang yang merupakan keterampilan yang paling dibutuhkan dalam konteks zaman mereka.
Pendidikan zaman kolonial justru menurut Nico S. Kalangie (1977; Orang Minahasa: beberapa aspek kemasyarakatan dan kebudayaan dalam Majalah Peninjau Tahun IV Nomor:1) menimbulkan suatu paradoks dimana pendidikan sekolah yang sudah mantap sejak lama itu, tidak membawa manfaat untuk kemajuan masyarakat Minahasa, tetapi justru sebaliknya. Hal mana disebabkan karena tujuan pokok dari sistem pendidikan kolonial adalah untuk pegawai kantor pangkat rendahan (klerk) yang dipelajari untuk taat kepada perintah atasan, tetapi tidak usah mempunyai rasa tanggung jawab yang luas. Dengan sendirinya berkembang mentaliteit-pegawai dalam masyarakat orang Minahasa diikuti dengan sikap memandang rendah pekerjaan dengan tangan atau berdagang.
Benar, bahwa sistem pendidikan sekolahan sebagai bentuk pendidikan modern diperkenalkan oleh pemerintah kolonial tersebut, tapi disini kita menemukan jawaban mengapa orang tua dari generasi-generasi tou Minahasa memaksa anaknya untuk sekolah kemudian berorientasi menjadi pegawai upahan pemerintah (PNS) bukannya menjadi Tou yang cerdas kreatif menciptakan lapangan penghidupan dan pencerahan peradaban sebagaimana visi pendidikan lembaga Papendangan.
Sejarah pun berbicara bahwa, derap langkah pendidikan Tou Minahasa terperangkap dalam arus kuat sentralisasi dan homogenaisasi pendidikan oleh hegemoni pemerintah pusat di zaman rezim Soeharto. Tak ada tempat untuk nilai-nilai lokalitas. Tak ada tempat untuk daya kritis dan inovasi.
Pertanyaannya apakah Papendangan kemudian dalam konteks kekinian bisa menjadi model konkrit sebagai jawaban dari mange wisako pendidikan Minahasa?
Konteks kekinian di era reformasi adalah otonomi dan desentralisasi pendidikan. Arus desentralisasi yang memberi ruang gerak bagi daerah sebenarnya menjadi peluang bagi Minahasa untuk melakukan rekonstruksi ulang  bangunan pendidikannya. Kewenangan (authority) yang diberikan kepada pemerintah daerah otonom harusnya dimanfaatkan untuk menata sistem pendidikan daerah, sistem pendidikan di Tanah Minahasa yang berbasis pada budaya unggul leluhur kita, papendangan, tentu saja dengan racikan yang berbeda namun dengan spirit yang sama.
Kita harus memiliki visi dan prinsip yang jelas bagi pendidikan di Tanah Minahasa, kalau ingin pendidikan Minahasa berdiri kokoh dengan arah yang jelas dalam pelayaran yang dinamis yang penuh dengan tarikan-tarikan sisa-sisa kolonialisme dan orde baru serta terpaan angin globalisasi.
Kita harus mengambil pilihan yang realistik, atau kita akan mendaftarkan anak cucu kita pada sistem pendidikan yang suram dan anak cucu kita akan kembali bertanya: Pendidikan di Tanah Minahasa: Mange Wisa Ko ???     
********Meidy Tinangon********

Kamis, 02 September 2010

Pesta kami, duka Sang Raja

Tuhan,
Kepala kami berpesta dengan mahkota kesombongan
Mata kami berpesta dengan kedipan ketidakadilan
Mulut kami berpesta dengan bahasa kemunafikan
Hati kami berpesta dengan kasih yang diskriminatif...
Tangan kami berpesta dengan kepalan kekuasaan
Kaki kami berpesta dengan jejak kezaliman

Tubuh kami berpesta namun kau tampak murung....

Owww...... kami mendukakanmu Tuhan.....
Ampuni kami ya Tuhan.................

Mengejar Sang Mimpi

aku bertemu Sang Mimpi:

Berjubah putih tanda ketulusan,
dengan alas kaki kesejahteraan......
berikatpinggang kesabaran,
tangan kanan menggengam pedang keadilan,
tangan kiri melekat perisai keuletan
berkalung emas kerendahan hati
berhiaskan mahkota cinta kasih

Ku jatuh cinta padanya
ingin hati memeluknya ...
Ku mencoba menjangkaunya, semampu-mampu keterbatasan diri....

Namun, dia menjauh, berlari kencang menembus ruang dan waktu....
Aku trus mengejarnya....
Ahh... semakin ku lari, semakin dia jauh...

Hingga tersadar aku dari tidurku, dalam nafas baru di pagi itu
Sang Mimpi belum jua kutangkap....
Dia menjelma menjadi asa di alam nyata, visi nan jauh di mata.....

Ku usap mata, sadarkan jiwa, ku genggam erat tanganku dan
canangkan tekad:

"Kan ku kejar dikau Sang Mimpi,
lalui jalan berliku penuh kerikil tajam,
telusuri lorong waktu dan glapnya ruang hidup,
tak peduli panas ataupun hujan,
hingga Ku tangkap dan peluk erat dikau,
hingga kau menjelma menjadi cintaku dan hidupku........"

damai yang mahal

Damai.... 'ntuk membicarakanmu,
brapa rupiah harus dikumpul bermodal proposal tuk sebuah Seminar Perdamaian

Damai..... 'ntuk menemukanmu,
brapa rupiah harus kami investasikan untuk membuat rusuh....

Damai.... 'ntuk menghalangimu,
brapa rupiah harus kami relakan supaya tak hilang kuasa disaat damai tiba....

Damai.... 'ntuk membuat orang berdamai,
brapa rupiah harus kami keluarkan untuk ganti rugi para pihak...

Damai..... kami takut kau tiba dan ganggu strategi politik kami....
siapa harus kami korbankan dan mangsa supaya kekacauan selalu ada ?

Damai.... nilai uang tak mampu membayar harga diri demi sebuah kerendahan hati untuk berdamai

Damai.... mungkinkah engkau objek bisnis potensial ? ataukah kau tlah menjelma sebagai komoditi impor-ekspor ? Berapakah modal investasi untuk Mem-bisnis-kanmu duhai damai ?

Damai.... mahal engkau......
Kau sering ingin hadir dengan bayaran mata uang 'air mata' saat saat mata uang itu banyak palsunya...

Darahpun seakan tak sanggup membuat kami bertemu dikau wahai damai....

Sang Raja Damai, Penguasa Kedamaian, pun harus membayarnya dengan kehinaan, penolakan, siksa, hianat, cambuk, salib dan darah !!!!

Damai.....
Mahal... tapi Sang Dunia merindumu bersama bergandeng tangan mesra menuju sorga.......

Toudano, 6 Des 09....

Sabtu, 12 Juni 2010

Naskah Deklarasi Gerakan Minahasa Muda (GMM)

-->
Di Tondano, 28 Oktober 2008, bediri sebuah organisasi kaum muda Minahasa, bernama Gerakan Minahasa Muda. Berikut ini isi naskah deklarasinya:

DEKLARASI
GERAKAN MINAHASA MUDA

Kami Putra Putri MinahasaYang bergumul dan berempati dengan pergumulan hidup Tou MinahasaYang peduli dengan eksistensi Tanah Minahasa dalam bingkai keIndonesiaanYang rindu melihat Negeri Minahasa yang maju dan unggul dalam percaturan globalYang ingin menyatukan dan menggerakan potensi      Tou Minahasa Muda
Yang bertekad mengangkat kehidupan Tou Minahasa Muda.

Dengan kesadaran penuh sebagai Tou Minahasa, Warga Negara Indonesia,
Pada hari ini Selasa, 28 Oktober 2008Dengan kesadaran penuh bahwa pergumulan, kepedulian, kerinduan, keinginan dan tekad luhurBagi Negeri, Tanah dan Tou Minahasa tersebut harus memiliki wadah bergerakan.Maka dengan ini kami sepakat menghimpun diri dalam satu gerakan kebersamaan Minahasa MudaDengan nama:

GERAKAN MINAHASA MUDA (GMM)

Senin, 07 Juni 2010

WALETA MINAHASA; Media Kebudayaan Minahasa Pertama

Tondano - Tou Minahasa kini memiliki media kebudayaan yang fokus pada publikasi kekayaan kebudayaan Minahasa. Majalah “Waleta Minahasa” diluncurkan Jumat (7/5/2010) bertempat di hotel Tou Dano, Tondano- Minahasa. Hadir dalam kegiatan yang juga dirangkaikan dengan diskusi budaya bertajuk “Membongkar Sentralisme dan Imprealisme” ini sejumlah tokoh Minahasa, budayawan, sastrawan dan aktivis mahasiswa.

Sore itu di MINAWANUA



Sore itu, Senin, dua empat bulan lima tahun dua puluh sepuluh
kususuri tepian sungai Tondano, di wanua Kiniar-Toulour
indah nian riak lembutnya tentramkan pikir dan rasa
yang tak sabar menengok jejak, tanda peradaban bangsaku MINAHASA



Sore itu, di Tanah Toulour yang basah.yang dulu basah bersimbah darah..
Melewati rimbunnya rerumputan dan tanah berawa,
akhirnya kuinjakan kaki di MINAWANUA....

Sore itu, di MINAWANUA
melihat waruga para leluhur negeri, para waraney MINAWANUA
Hamparan luas lahan bekas BENTENG MORAYA
Ku rasa bangga terlahir sebagai Tou Minahasa

Sore itu, di MINAWANUA
membayangkan patriotisme para Tou Ente’ Se’ Waraney Minahasa
Ku rajut makna:
“Tou Minahasa, berani, berjiwa kesatria, pejuang kebenaran”
Ku rangkai komitmen:
“Nyaku Tou Minahasa musti berani, tekun, ulet, tak kenal lelah, rela berkorban”

Sore itu di MINAWANUA – TONDANO
Ku bangun lagi BENTENG MORAYA di hatiku
Tuk siap hadapi gempuran Kolonialis modern
Bertopeng teknologi dan materialisme.....

Sore itu, di MINAWANUA ku lihat Sang Manguni
Tatapnya tajam membawa pesan:
“Wangunen um banua,
Ma esa-esaan, ma tombol-tombolan, ma sawang-sawangan,
Esa Genang, Esa Lalan”

Sore itu di MINAWANUA, ku jawab Sang Manguni:
“I Jayat U Santi !!!!”

by. MEIDY TINANGON
Negeri KINIAR, malam, sehabis 'sore dari MINAWANUA'
24 MEI 2010
penghargaan kepada para waraney negeri MINAWANUA