“Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen khususnya.
facebook.com
GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia.
GMKI jadilah suatu pusat, tempat latihan, dari mereka yang bersedia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia.
GMKI bukan merupakan suatu gessellschaft, tetapi ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja maupun dalam nusa dan bangsa Indonesia. Sebagai suatu bagian daripada iman dan roh, ia berdiri ditengah-tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional, dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan InjilNya, yaitu Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan”(Dr. J. Leimena, Founding Father GMKIdalam Pidato Pembentukan GMKI, 9 Februari 1950)
Ungkapan Oom Jo tersebut, bagi penulis bukanlah kata yang hanya kontekstual di masanya sesuai suasana kebatinan waktu itu, tetapi kata-kata atau teks tersebut tetaplah kontekstual disepanjang masa eksistensial gerakan ini. Justru ungkapan ini menjadi menarik menjadi bahan refleksi, karena dalam pandangan penulis, fenomena empirik ke-GMKI-an dalam konteks sekarang mulai menunjukan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ada permasalahan serius dalam eksistensi GMKI sekarang. Makna dalam teks tersebut yang seharusnya dikontekstualisasikan untuk segala zaman, mengalami tantangan zaman dan akhirnya menyebabkan distorsi dan disorientasi peran dalam kontekstualisasinya. Sehingga wajarlah jika ada orang bertanya-tanya tentang identitas kedirian GMKI dengan pertanyaan: “GMKI mau kemana ?”
Berefleksi dari teks pidato Oom Jo dan Konstitusi GMKI dihubungkan dengan konteks kekinian eksistensi GMKI maka paling tidak ada 5 hal yang perlu menjadi bahan refleksi bagi civitas gerakan.
Pertama, “Tindakan ini adalah suatu tindakan historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen khususnya.....”
Tindakan pendirian GMKI sebagai hasil peleburan dua organisasi yaitu Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) dan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) memang merupakan suatu tindakan historis bagi mahasiswa dan masyarakat Kristen. Karena GMKI berdiri bukan berdasarkan keinginan semata tetapi berdasarkan kebutuhan (need) di masa itu, baik kebutuhan mahasiswa maupun komunitas Kristen bahkan kebutuhan Bangsa Indonesia. Paling tidak kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan mahasiswa akan adanya organisasi pelayanan mahasiswa dan adanya wadah yang mengorganisir partisipasi mahasiswa Kristen, kebutuhan masyarakat Kristen terhadap adanya lembaga oikumenis ditengah perkembangan pluralitas dalam komunitas Kristen serta kebutuhan Bangsa akan partisipasi umat Kristen termasuk mahasiswa dalam perjuangan pergerakan nasional di masa itu.
Dari nilai historis ini maka Anggaran Dasar GMKI menyebut tiga sifat dari organisasi ini yaitu: sifat kemahasiswaan, sifat ke-Kristenan dan sifat ke-Indonesiaan. Ditempatkannya sifat kemahasiswaan di tempat pertama, memang disengaja dalam frame pemahaman bahwa kehadiran GMKI memang pertama-tama untuk mahasiswa, sebagai lembaga yang melayani mahasiswa sebagaimana tujuan GMKI yang pertama (AD GMKI pasal 3) yaitu: Mengajak mahasiswa dan warga perguruan tinggi lainnya kepada pengenalan akan Yesus Kristus selaku Tuhan dan Penebus dan memperdalam iman dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
Memperhatikan dinamika gerakan, juga menyimak dinamika gerakan, maka sesungguhnya kita punya pergumulan berat dalam pelayanan bagi mahasiswa. Program GMKI dinilai kurang mendarat di kalangan mahasiswa. Pelayanan kepada mahasiswa dalam dasawarsa terakhir dinilai mulai dilupakan oleh GMKI, sehingga berimplikasi kepada degradasi kuantitas rekrutmen kader akibat minimnya minat ber-GMKI di kalangan mahasiswa. GMKI selama ini terlalu berorientasi kepada masyarakat sehingga melupakan basis pelayananannya yaitu dunia kampus. Dapat dikatakan dalam konteks ini bahwa terjadi disorientasi GMKI dalam medan pelayanan. Orientasi yang sebenarnya dalam konsep equilibrium harus berorientasi seimbang (equal) pada tiga arah (perguruan tinggi, gereja dan masyarakat) justru mengalami disorientasi dengan dominansi perhatian terhadap medan layanan masyarakat. Dalam tahap ini di GMKI memang harus belajar dari sejarah dan melakukan reorientasi kearah keseimbangan dengan memperhatikan mahasiswa sebagai basis pelayanan GMKI selaku organisasi kemahasiswaan.
Kedua, GMKI menjadilah pelopor dari semua kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia.
Pelopor dalam semua kebaktian yang dimaksudkan disini adalah kebaktian dalam pengertian yang lebih luas (holistik), bukan dalam pengertian yang sempit sebagai kebaktian atau ibadah berwujud penyembahan kepada Tuhan belaka (worship). Kebaktian memang sering digunakan dalam tatabahasa kita sebagai ibadah (pemujaan) atau kalau bisa saya bahasakan sebagai ibadah dalam arti sempit. Dalam pengertian yang lebih luas, GMKI memahami bahwa kebaktian atau pelayanan GMKI mencakup totalitas hidup gerakan. Segala aktifitas gerakan yang bersifat horizontal adalah kebaktian kepada Tuhan sebagai wujud hubungan vertikal dengan Sang Kepala Gerakan. Visi mewujudkan syaloom Allah berwujud keadilan, kebenaran, perdamaian, cinta kasih dan keutuhan ciptaan cukup menggambarkan hal ini.
Namun dalam tubuh GMKI sendiri tarikan-tarikan dalam dua kutub serta pertentangan antara “kebaktian dalam arti sempit” dan “kebaktian dalam arti luas” atau antara hubungan horizontal dan vertikal sering mencuat ke permukaan. Dalam tataran operasional gerakan, sering ditemui fakta berat sebelah tergantung pemahaman kader, lebih khusus para decision maker di cabang. Realitas GMKI cukup membingungkan ketika dua kutib tersebut dipertentangkan sehingga terjadilah “polarisasi kebaktian GMKI dalam dua kutub”.
Lagi-lagi yang kita hadapi adalah masalah disorientasi gerakan dan masalah equilibrium atau keseimbangan. GMKI atau kader GMKI seringkali melakukan ibadah pelayanan yang sifatnya horizontal tanpa memiliki dasar pemahaman kehendak Tuhan yang terinternalisasi disaat hubungan dengan-Nya tercipta baik. Sehingga terjadilah, seringkali pola aksi pelayanan GMKI tidak mencirikan ke-Kristenan dan lebih bersifat sekuler. Dalam kondisi ini maka kepeloporan GMKI dalam mewujudkan “segala kebaktian” di Indonesia menjadi tanda Tanya. GMKI kehilangan identitas Kekristenan karena muatan atau spirit, motivasi teologis dalam aksi pelayanan GMKI sangat kurang yang berimplikasi dalam tataran praksis.
Padahal sebenarnya polarisasi tersebut tidak pada konteksnya karena baik “kebaktian dalam arti sempit” dan “kebaktian dalam arti luas” atau antara hubungan horizontal dan vertical tidak harus disegmentasi apalagi dipertentangkan, karena sebagaimana makna salib dalam lambang GMKI dimana garis vertikal dan horizontal bertemu dalam suatu titik dan dipadukan dalam perisai GMKI maka sebetulnya yang diharapkan adalah perpaduan dalam keseimbangan antara ibadah atau segala kebaktian baik dalam arti luas ataupun sempit. Lagi-lagi GMKI perlu mereorientasi diri menuju titik keseimbangan (equilibrium point).
Ketiga, GMKI jadilah suatu pusat, tempat latihan, dari mereka yang bersedia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan dan kebaikan negara dan bangsa Indonesia.
Ungkapan ini menjadi spirit gerakan sehingga dalam eksistensinya GMKI dikenal sebagai gerakan pengkaderan untuk menciptakan kader GMKI yang tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian. Sejak dulu GMKI justru banyak dikenal karena kursus-kursus kader sebagai salah satu program utama GMKI. Dan program pengkaderan dalam organisasi GMKI sendiri dinilai berhasil untuk jangka waktu tertentu dengan indikatornya adalah kualifikasi luaran (output) yakni para kader GMKI (senior members / friends) yang terdistribusi di tiga medan layanan.
Pola pengkaderan GMKI justru dipertanyakan termasuk kualitas kadernya. Kita sampai sekarang masih bergumul dengan belum terealisasinya PDSPK (Pola Dasar Sistem Pembinaan Kader). Padahal proses perumusan konsep PDSPK sudah melalui kajian yang lama, namun mentok dalam tataran operasional, yang selama ini diidentifikasi bahwa hal tersebut diakibatkan karena sistem pendidikan kader rupanya unaplicated (sulit diterapkan) oleh cabang-cabang di tanah air. Pertanyaannya mengapa sulit ? Rupanya fakktor penyebab kesulitan tersebut bersumber dari masalah substansial yaitu sumber daya organisasi yaitu: skill dan militansi manusianya dan masalah klasik yaitu masalah dana.
Dilain pihak kader GMKI yang terdistribusi di berbagai tempat, seringkali menjadi sorotan karena identitas yang terpotret dalam sikap dan perilakunya dinilai melenceng dari nilai-nilai etis kristiani. Ini memang menjadi pukulan berat bagi GMKI sekaligus tantangan. Bagaimanapun penilaian terhadap GMKI selalu terpancar dari tindak tanduk kader baik anggota biasa maupun anggota luar biasa (senior). Titik equilibrium rupanya belum terwujud dalam hubungan antara pengkaderan dan kualifikasi kader.
Keempat, GMKI bukan merupakan suatu gessellschaft, tetapi ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya.
Gessellschaft dalam kosa kata Belanda –berdasarkan komunikasi penulis dengan senior dr. A.A.A. Lengkong- adalah suatu pola hubungan yang dapat dikatakan longgar dan mudah lepas, wujudnya seperti asosiasi atau aliansi yang dapat dikatakan bersifat sementara. Dalam artian tidak ada ikatan yang kuat antara factor yang berasosiasi. Sedangkan gemeinschaft adalah persekutuan yang punya ikatan erat bukan seperti asosiasi yang dapat lepas, persekutuan seharusnya tidak bisa lepas antara factor-faktor yang bersekutu. Ungkapan ini mau menunjukan hubungan GMKI dengan Tuhannya sebagai suatu persekutuan yang ikatannya sangat kuat. Dapat dikatakan ini merupakan pernyataan iman GMKI bahwa GMKI percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan konsekwensinya sebagai suatu persekutuan maka GMKI tidak boleh melepaskan diri dari Tuhannya. Jika hal tersebut terjadi maka akibatnya fatal bagi GMKI.
Rasanya pemahaman yang sangat dalam inilah yang menyebabkan cikal-bakal kedirian GMKI adalah persekutuan-persekutuan doa dan penelaan Alkitab dalam kelompok-kelompok diskusi. Dalam kelompok tersebut teks Alkitab didiskusikan untuk memahami kehedak Tuhan dan berusaha dipahami dalam konteks kehidupan di dunia. Dengan metode ini, maka segala aktifitas GMKI diharapkan semuanya bersumber dari Alkitab atau pemahaman teologis yang dikontekstualisasikan dalam realitas hidup IPOLEKSOSBUD.
Sekarang ? GMKI dinilai melupakan pengalaman historis dan (lagi-lagi) kehilangan identitas Kristen karena pemahaman Alkitab lewat PA, mulai ditinggalkan GMKI (atau dilupakan ?). Kembali lagi kita berhadapan dengan unequilibrium. GMKI dalam ketidakseimbangan.
Kelima, Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja maupun dalam nusa dan bangsa Indonesia. Sebagai suatu bagian daripada iman dan roh, ia berdiri ditengah-tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional, dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan InjilNya, yaitu Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan”
Hal ini mau merefleksikan bahwa GMKI hadir untuk Gereja dan Negara. Bukanlah tabu bagi GMKI untuk bicara tentang problematika ekonomi, politik, social dan budaya bangsa. Karena itulah juga panggilannya dan bagian dari motivasi dasar pendirian GMKI. Namun ada juga kecendrungan GMKI lebih melihat problematika Negara daripada gereja. GMKI lebih senang bicara politik daripada bicara keesaan gereja atau masalah oikumenis lainnya. Padahal sekali lagi perlu keseimbangan. Tetapi kita memang dalam ketidakseimbangan.
Bahaya ketidakseimbangan adalah kita gampang terhempas oleh ganjalan musuh, ibarat orang yang bertumpu pada satu kaki. Karena itu, lewat refleksi ini, kita perlu melakukan reorientasi menuju titik keseimbangan !! Reorientasi dari orientasi satu arah yaitu orientasi ke medan layanan masyarakat menuju keseimbangan dengan orientasi pada tiga medan layanan. Reorientasi dari gerakan yang lupa terhadap mahasiswa sebagai basis massanya menuju reorientasi dengan memperj\hatikan pelayanan mahasiswa. Reorintasi dari polarisasi konsep kebaktian (horizontal-vertikal) menuju pertemuan antara vertical dan horizontal. Reposisi dari mitra Negara menjadi mitra Negara, gereja dan perguruan tinggi. Reposisi dari sikap meninggalkan persekutuan, kearah persekutuan yang kuat dengan Tuhannya. UT OMNES UNUM SINT. Syaloom…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar