Meidy Yafeth Tinangon, SSi., M.Si.
(Komisioner KPU Prov. Sulut 2018-2013 /
Ketua Divisi Hukum Dan Pengawasan)
Perkembangan ketatanegaraan pasca beberapa kali amandemen UUD 1945 berimplikasi lahirnya lembaga-lembaga negara yang baru termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Lembaga negara independen / non struktural. Lahirnya Lembaga-lembaga negara juga diikuti dengan hadirnya perangkat regulasi sebagaimana perintah UUD atau Undang-undang. Diantara perangkat regulasi tersebut, untuk penyelenggaraan Pemilu kita sering mendengar Peraturan KPU (PKPU). Masih banyak pihak yang belum menyadari kedudukan dan peran PKPU padahal PKPU merupakan bagian hirarki Peraturan Perundang-undangan di negeri ini. Dimana sebenarnya posisi PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Republik ini?
Hirarki
Peraturan Perundang-undangan
Terkait susunan atau hirarki peraturan
perundang-undangan, awalnya menggunakan ketentuan Tap MPR No. III/MPR/2000,
Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Namun dalam
perkembangan Tap MPR tersebut sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/2003 yang dalam ketentuan Pasal 4 angka 4 menyebutkan bahwa Tap MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang. Dengan pengertian lain bahwa TAP MPR Nomor
III/MPR/2000 memiliki sifat berlaku sementara, dan masa berlakunya habis,
ketika Pembuat Undang-undang mengundangkan Undang-undang terkait tata urutan
peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang yang mengatur tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang substansinya turut mengatur tata
urutan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000 tidak berlaku lagi dan tidak bisa dijadikan rujukan.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lho, ternyata PKPU tidak tercatat dalam
ketentuan tentang hiraki peraturan perundang-undangan di atas. Memang jika kita
hanya membaca ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU 12 Tahun 2011, kita tidak akan
menemukan frasa “peraturan KPU” di dalamnya.
Peraturan KPU sebagai bagian dari hirarki peraturan
perundang-undangan akan nyata dalam substansi Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 8
ayat (1) dan ayat (2) UU 12 Tahun 2011. Ketentuan ayat 1 menyebutkan bahwa: jenis
Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.
Selanjunya ketentuan ayat 2 menyebutkan
bahwa Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,
jelaslah bahwa PKPU dikategorikan sebagai peraturan
yang ditetapkan oleh komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Lebih lanjut, PKPU jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan yang diberikan Undang-undang
kepada KPU.
PKPU merupakan bagian dari peraturan
perundang-undangan yang menjadi kewenangan KPU untuk menyusunnya dalam rangka
melaksanakan Pemilu. PKPU merupakan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud Pasal
75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
umum yang menyebutkan bahwa: “untuk
menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU
membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan.”
Secara khusus Peraturan KPU Nomor 20 Tahun
2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten
/ Kota yang menjadi bahan perdebatan dalam SPPU DIAKUI KEBERADAANYA dan mempunyai KEKUATAN
HUKUM MENGIKAT, karena diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan (Jo.
Pasal 8 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011; Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 249
ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU No 7 Tahun 2017). Selain itu, Peraturan KPU
Nomor 20 Tahun 2018 telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 834. Sifat “mengikat”
tersebut berarti harus dipatuhi oleh setiap warga negara maupun
institusi yang terkait dengan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 termasuk bakal
calon anggota DPD, DPR dan DPRD dan seluruh Partai Politik Peserta Pemilu,
Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) serta stakeholder dan masyarakat
umum.
Kewenangan
Judicial Review
Apabila dalam pelaksanaannya ada warga
negara atau institusi beranggapan bahwa terdapat Pasal-pasal dalam PKPU Nomor
20 Tahun 2018 yang bertentangan dengan Undang-undang, maka warga negara atau
institusi yang merasa dirugikan dapat mengajukan uji materi (judicial review) PKPU ke Mahkamah Agung
yang memiliki KOMPETENSI/ KEWENANGAN ABSOLUT untuk melakukan pengujian
peraturan di bawah Undang-undang. Hanya Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
dapat menetapkan bahwa Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang dan
tidak berkekuatan hukum mengikat. Demi keadilan dalam Ketuhanan Yang Maha Esa,
dalam suatu negara hukum, maka sewajarnyalah setiap warga negara menjunjung tinggi
setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku, sah dan berkekuatan hukum
mengikat, termasuk PKPU.
Kompetensi / kewenangan absolut Mahkamah
Agung untuk melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang didasari pada ketentuan:
- Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UndangUndang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.”
- Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Agung berwenang: menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”
- Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Lebih spesifik terkait pengujian PKPU terhadap
Undang-Undang, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum mengatur bahwa: “Dalam hal
Peraturan KPU bertentangan dengan Undang-undang ini, pengujiannya dilakukan
oleh Mahkamah Agung.”
Rumusan pasal ini menegaskan bahwa
Peraturan KPU dan (Juga) Peraturan Bawaslu yang kedudukannya setara (sebagai
pelaksanaan Undang-Undang) hanya dapat dibatalkan melalui proses pengujian di
Mahkamah Agung, sesuai kewenangan absolut yang dimilikinya. Sidang adjudikasi Sengketa Proses pemilihan Umum (SPPU) juga tidak memiliki kewenangan untuk menguji atau menyatakan bahwa peraturan KPU bertentangan dengan
undang-undang.
Konsekwensi Hukum PKPU
Sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang jelas kedudukannya
dalam hirarki peraturan perundang-undangan, serta sifatnya yang diakui dan
mengikat, maka PKPU memiliki konsekwensi-konsekwensi bagi setiap masyarakat
atau institusi yang terkait dengan PKPU.
Pihak pertama yang wajib hukumnya serta memiliki tanggung jawab moral
untuk melaksanakan PKPU adalah KPU dan jajarannya. Tidak ada alasan bagi KPU
dan jajarannya untuk mangkir dari pelaksanaan peraturan yang dibuatnya.
Pelanggaran terhadap PKPU yang masih berlaku merupakan pelanggaran kode etik
berat bagi setiap penyelenggara Pemilu.
Partai Politik harus memenuhi ketentuan dalam PKPU dan stakeholder
terkait Pemilu lainnya juga wajib mengikuti PKPU untuk urusan teknis
pelaksanaan Pemilu karena PKPU mengikat secara internal dan eksternal. Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga terikat dengan PKPU. Dalam proses pengawasannya,
seyogyanya Bawaslu mengawasi apakah ketentuan-ketentuan dalam PKPU sebagai
koridor hukum penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU dan Peserta
Pemilu atau tidak. Demikian halnya dalam proses adjudikasi Sengketa Proses
Pemilihan Umum serta proses penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu,
seyogyanyalah Bawaslu menggunakan PKPU sebagai acuan.
Pada prinsipnya, PKPU yang diakui kedudukannya, sah dan bersifat mengikat tidak bisa
diingkari oleh setiap warga negara apalagi oleh penyelenggara Pemilu. PKPU
diadakan untuk menjadi acuan pelaksanaan teknis setiap tahapan sehingga tahapan
Pemilu berlangsung sesuai asas tertib dan punya kepastian hukum. Dibutuhkan
kesadaran hukum setiap warga negara untuk menaati peraturan perundang-undangan
termasuk PKPU, jika kita ingin Pemilu berlangsung tertib sebagai pelaksanaan
kedaulatan rakyat di negara demokrasi berdasarkan hukum…..
Salam demokrasi !!!
*** Tulisan ini juga dimuat dalam:
1. Website KPU RI dengan link: https://kpu.go.id/index.php/post/read/2018/6523/PKPU-dalam-Hirarki-Peraturan-Perundang-undangan
2. Website Rumah Pemilu dengan link: https://rumahpemilu.org/pkpu-dalam-hirarki-peraturan-perundang-undangan/