Disimpang Jalan,
PENDIDIKAN di Tanah Minahasa
(editorial Waleta Minahasa edisi No. 2 thn. I Juni 2010)
“Mange wisa ko ?” atau dalam Bahasa Indonesia berarti: “Mau kemana engkau” mungkin adalah bahasa yang tepat untuk mempertanyakan ke mana arah pendidikan di Tanah Minahasa dalam kekinian dan keakanannya. Pertanyaan yang menyiratkan suatu kebingungan dan ketidakpastian ketika menyoal fakta dari suatu objek bernama pendidikan yang semestinya harus memiliki arah dan tujuan yang jelas. Namun ternyata berada di simpang jalan......
Yah, bicara pendidikan kita pasti memahami bahwa bidang yang satu ini punya goal yang pasti. Dalam bahasa awam, tujuan pendidikan sederhananya adalah untuk membuat manusia yang mengenyam pendidikan menjadi manusia yang cerdas, yang otaknya mengunyah aneka pengetahuan atau dalam bahasa kerennya, menjadi Tou Ngaasan. Hal mana dibahasakan oleh konstitusi kita, UUD 1945, sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau tujuannya sudah jelas, mengapa mange wisa ko masih menjadi kalimat pertanyaan pilihan bagi kita ketika menyoal pendidikan di negeri tercinta Minahasa ? Apakah arah perjalanan pendidikan di negeri yang sempat mencetak tenaga pendidik bagi Tou di negeri lain ini sedang mengalami disorientasi ? Apakah lika-liku perjalanannya telah tercerabut dari rel yang benar ? Apa yang salah dengan pendidikan di negeri kelahiran doktor matematika pertama Indonesia ini ?
Bacerita tentang pendidikan memang cukup rumit ternyata. Sekolah, perguruan tinggi, guru, murid, dosen, mahasiswa, kurikulum, barulah sebagian kecil dari perkakas-perkakas yang mengkonstruksi bangunan pendidikan kita.
Tetapi pada akhirnya dalam kerumitan-kerumitan sistem tersebut, kita, dalam menilai berhasil-tidaknya pendidikan, paling gampang dengan melihat buah dari pendidikan tersebut. Apakah buahnya baik atau tidak. Apakah bisa mengenyangkan atau tidak. Selanjutnya, apakah bisa bereproduksi dengan pola dan hasil yang baik.
Sederhananya, buah pendidikan itu akan baik jika mampu membawa kesejahteraan. Yang dimaksud dengan buah disini adalah output dari pendidikan itu sendiri.
Lalu, bagaimana buah dari perjalanan proses pendidikan di Tanah Minahasa ini ?
Fakta kekinian berbicara bahwa Tou Minahasa sebagai “buah” atau output dari pendidikan masih banyak yang terbelunggu dalam pengangguran dan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik Sulut Desember 2009, jumlah pengangguran untuk keadaan Agustus 2009 sebanyak 110.957, suatu angka yang bukan sedikit. Angka yang berpotensi bertambah seiring dengan laju penamatan lulusan SMA, SMK dan Perguruan Tinggi.
Sampai disini, apa yang salah dengan pendidikan kita ?
Rupanya pendidikan kita di zaman sekarang belum mampu menyiapkan tenaga yang bukan hanya siap dipakai tapi siap memakai ilmunya. Pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan yang mampu mencipta, berinovasi dan mandiri. Pendidikan kita belum mampu membebaskan !!!
Inilah sebenarnya jawaban substansial dari pertanyaan mange wisa ko di atas. Pendidikan di Tanah Minahasa harus mampu menghasilkan manusia yang bukan cuma ngaasan dalam pengertian berilmu, tetapi mampu menggunakan ilmu untuk menghidupi dirinya dan sesama (Tumou Tou). Pendidikan Minahasa harus mengarah pada pendidikan yang membebaskan karena manusia yang memiliki kebebasanlah yang kelak akan menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. Dan manusia yang kreatif dan inovatif-lah yang kelak menjadi manusia mandiri. Tidak tergantung pada peluang-peluang menjadi PNS atau orang upahan.
Kita harus banyak belajar dari dinamika historis pendidikan di negeri Minahasa ini. Banyak orang menganggap bahwa peran lembaga zending dan pemerintahan kolonial sangat besar bagi perkembangan pendidikan modern dan introduksi sistem sekolah dan sumekolah sebagai wujud akulturasi budaya pendidikan.
Sekalipun demikian, dalam konteks pertanyaan mengenai arah kekinian pendidikan Minahasa kita harus banyak belajar pada sebuah model pendidikan asli Minahasa: Papendangan !!!
Papendangan adalah sebuah model pendidikan yang komprehensif. Para pelajar (pahayoan) bukan cuma belajar aspek kognisi (pemahaman teoritis ilmu pengetahuan) semata tetapi mereka mendapatkan pemahaman dari aspek Afektif (sikap) lewat pelajaran kenaramen (adat istiadat dan kepercayaan), juga aspek keterampilan (psikomotorik) berupa keterampilan bertani dan berburu bahkan berperang yang merupakan keterampilan yang paling dibutuhkan dalam konteks zaman mereka.
Pendidikan zaman kolonial justru menurut Nico S. Kalangie (1977; Orang Minahasa: beberapa aspek kemasyarakatan dan kebudayaan dalam Majalah Peninjau Tahun IV Nomor:1) menimbulkan suatu paradoks dimana pendidikan sekolah yang sudah mantap sejak lama itu, tidak membawa manfaat untuk kemajuan masyarakat Minahasa, tetapi justru sebaliknya. Hal mana disebabkan karena tujuan pokok dari sistem pendidikan kolonial adalah untuk pegawai kantor pangkat rendahan (klerk) yang dipelajari untuk taat kepada perintah atasan, tetapi tidak usah mempunyai rasa tanggung jawab yang luas. Dengan sendirinya berkembang mentaliteit-pegawai dalam masyarakat orang Minahasa diikuti dengan sikap memandang rendah pekerjaan dengan tangan atau berdagang.
Benar, bahwa sistem pendidikan sekolahan sebagai bentuk pendidikan modern diperkenalkan oleh pemerintah kolonial tersebut, tapi disini kita menemukan jawaban mengapa orang tua dari generasi-generasi tou Minahasa memaksa anaknya untuk sekolah kemudian berorientasi menjadi pegawai upahan pemerintah (PNS) bukannya menjadi Tou yang cerdas kreatif menciptakan lapangan penghidupan dan pencerahan peradaban sebagaimana visi pendidikan lembaga Papendangan.
Sejarah pun berbicara bahwa, derap langkah pendidikan Tou Minahasa terperangkap dalam arus kuat sentralisasi dan homogenaisasi pendidikan oleh hegemoni pemerintah pusat di zaman rezim Soeharto. Tak ada tempat untuk nilai-nilai lokalitas. Tak ada tempat untuk daya kritis dan inovasi.
Pertanyaannya apakah Papendangan kemudian dalam konteks kekinian bisa menjadi model konkrit sebagai jawaban dari mange wisako pendidikan Minahasa?
Konteks kekinian di era reformasi adalah otonomi dan desentralisasi pendidikan. Arus desentralisasi yang memberi ruang gerak bagi daerah sebenarnya menjadi peluang bagi Minahasa untuk melakukan rekonstruksi ulang bangunan pendidikannya. Kewenangan (authority) yang diberikan kepada pemerintah daerah otonom harusnya dimanfaatkan untuk menata sistem pendidikan daerah, sistem pendidikan di Tanah Minahasa yang berbasis pada budaya unggul leluhur kita, papendangan, tentu saja dengan racikan yang berbeda namun dengan spirit yang sama.
Kita harus memiliki visi dan prinsip yang jelas bagi pendidikan di Tanah Minahasa, kalau ingin pendidikan Minahasa berdiri kokoh dengan arah yang jelas dalam pelayaran yang dinamis yang penuh dengan tarikan-tarikan sisa-sisa kolonialisme dan orde baru serta terpaan angin globalisasi.
Kita harus mengambil pilihan yang realistik, atau kita akan mendaftarkan anak cucu kita pada sistem pendidikan yang suram dan anak cucu kita akan kembali bertanya: Pendidikan di Tanah Minahasa: Mange Wisa Ko ???
********Meidy Tinangon********