Sabtu, 18 Februari 2012

Pilkada dan Kebebasan Memilih dalam Perspektif Kristiani


Harapan kita bersama sebagai wujud pelaksanaan demokrasi, maka Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) akan menjadi sarana penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dimana rakyat benar-benar berdaulat penuh untuk menentukan siapa pemimpinnya.
Untuk bisa disebut berdaulat penuh, maka faktor kebebasan dalam menentukan pilihan tentu saja menjadi faktor penentu. Karena pentingnya faktor kebebasan itu maka kita telah lama diperkenalkan dengan sistem atau sifat Pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) sebagaimana termaktub dalam konstitusi kita UUD 1945 pasal 22 E, hal mana khusus untuk pemilihan umum kepala daerah diatur dalam Pasal 56 ayat 1 UU Nomor  32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa: “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.
Meskipun telah tersurat dalam konstitusi dan undang-undang kita, namun yang petut dipertanyakan adalah bagaimana kebebasan dalam perspektif kristiani? Apakah kita benar-benar bebas dalam menentukan pilihan politiknya ? 


·        Kebebasan Memilih dalam Perspektif  Alkitab

-         Kebebasan dalam pandangan Alkitab
Alkitab banyak berbicara mengenai kebebasan, meskipun tidak langsung menunjuk pada kebebasan untuk memilih. Dalam Alkitab, Allah digambarkan sebagai Pemberi Kebebasan dan Pembebas itu sendiri. Dalam Kitab Mazmur,  pemazmur menyebut bahwa Tuhanlah yang memberikan kebebasan. “DikirimNya kebebasan kepada umatNya......”(Maz 11:9a). Tuhan jugalah yang mengerjakan pembebasan umatnya dari belenggu penderitaan. “...yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada yang lapar. Tuhan membebaskan orang-orang yang terkurung” (Maz 146:7). Dalam perjanjian baru, kedatangan Yesus Kristus merupakan  tanda dan bukti misi pembebasan Allah bagi umat manusia. “...untuk membebaskan orang-orang yang tertindas” (Luk 4:19).
Kebebasan, dalam Alkitab, banyak dihubungkan dengan bebas dari perbudakan. Menurut Brownlee (1993, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, BPK Gunung Mulia), dalam Alkitab kerelaan untuk hidup dalam perbudakan dianggap sebagai dosa. Allah memanggil manusia untuk hidup bebas. Murka Tuhan bangkit terhadap Bangsa Israel, karena di tengah tantangan-tantangan padang gurun, mereka ingin kembali ke Mesir (Bil 11:4-23; Kel 17:1-7). Dalam PB, Rasul Paulus memperingatkan jemaat Galatia supaya mereka mempertahankan kebebasan dari hukum Taurat yang dimenangkan bagi mereka oleh Kristus. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Gal 5:1).
Jadi jelaslah bahwa kebebasan merupakan karunia Tuhan bagi kehidupan umat percaya yang harus direspon dengan wujud: jangan mau hidup dalam perhambaan. Lebih jelas lagi Rasul Paulus mengingatkan: “saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaanmu itu sebagai kesempatan untuk berbuat dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih.” (Gal 5:13). Nats ini hendak menegaskan bahwa kebebasan orang Kristen bukanlah kebebasan untuk kebebasan, atau kebebasan tanpa syarat, tetapi kebebasan untuk tidak bebas berbuat dosa, atau kebebasan yang disertai tanggung jawab yaitu tanggung jawab untuk mengasihi sesama.
Malcolm Brownlee menulis bahwa manusia diciptakan untuk hidup bebas dan kreatif. Ia dimaksudkan bukan untuk menerima saja, tetapi untuk mengubah keadaannya, bukan untuk selalu menuruti tuntutan orang lain, tetapi untuk memilih sendiri. Namun manusia juga memerlukan bimbingan dan pertolongan. Ia perlu berusaha sendiri dan memilih sendiri, tetapi ia tidak berusaha dan memilih sendirian (huruf miring / italic oleh penulis). Alkitab menegaskan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin dalam ketergantungan pada Allah. Agama Kristen setuju dengan pandangan modern bahwa manusia diciptakan untuk kebebasan tetapi juga setuju dengan pandangan tradisional bahwa manusia perlu hidup dalam ketergantungan. Ia tidak dapat memerdekakan diri sendiri. Hanya Allah yang dapat menjamin kemerdekaannya.
Sejak manusia diciptakan dan ditempatkan di taman Eden, kebebasan telah menjadi miliknya sesuai dengan mandat Sang Pencipta. Namun kebebasan yang pada awalnya itu tetap saja merupakan kebebasan yang bersyarat. Di zaman pasca penebusan lewat pengorbanan Kristus, kebebasan itu tetap ada bahkan dibaharui dan dipulihkan. Kita hidup sebagai hamba yang bebas, tetapi bukan hambanya siapa-siapa, melainkan hambanya Kristus. Hal ini ditegaskan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: “Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil ? Itu tidak apa-apa ! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu. Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula  orang bebas yang dipanggil Kristus,  adalah hamba-Nya. Kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar. Karena itu janganlah kamu menjadi hamba manusia. Saudara-saudara hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.” (I Kor 7:21-24). Dengan demikian maka kebebasan bagi orang Kristen adalah bebas melakukan sesuatu, termasuk bebas memilih tetapi dalam terang kehendak Tuhan kita !

-         Kebebasan Memilih Pemimpin dalam pandangan Alkitab
Kisah-kisah dalam Alkitab, menyaksikan arti penting seorang pemimpin. Alkitab pun banyak memberi teladan tentang gaya kepemimpinan maupun  tugas seorang pemimpin. Namun, bagaimana orang Kristen hendak memilih pemimpinnya ?
Kebebasan yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia mendapatkan tempatnya juga ketika kita hendak memilih pemimpin. Tetapi, seperti diuraikan di atas bahwa kebebasan kita adalah kebebasan dalam ketergantungan kepada tuntunan Tuhan kita, maka kebebasan memilih pemimpin pun demikian. Kita bebas bertindak, melakukan perbuatan memilih tetapi dalam kebebasan itu, kita melakukannya dalam kehendak dan kemuliaan Tuhan.
Hal ini diperagakan dengan baik dan demokratis dalam Kisah Para Rasul 1:15-26, ketika murid-murid / rasul-rasul bersama umat Tuhan lainnya hendak memilih murid pengganti Yudas. Secara demokratis dengan diusulkan / dicalonkan dari bawah (bottom up), “Pemilu” versi para rasul dan umat Tuhan waktu itu (dengan metode mengundi) melalui tahapan sebagaimana tertulis: Lalu mereka mengusulkan dua orang: Yusuf yang disebut Barsabas dan yang juga bernama Yustus dan Matias. Mereka semua berdoa dan berkata: “Ya Tuhan , Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini.....” (Kis 1:23-24).
Inilah bentuk kebebasan yang mengakui kekuasaan Tuhan dalam kebebasan manusia. Dengan demikian orang Kristen meyakini dalam pemilihan pemimpin, bukan kita yang memilih tetapi Tuhanlah yang memilih. Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu (Yoh 15:16a). Dengan pemahaman yang seperti ini, maka berdoa adalah tahapan penting dalam Pemilu bagi orang Kristen. Berdoa dan mendoakan.  “.....dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, ......” (Filipi 1:9 & 10).


·        Realitas: Kebebasan Memilih dan Perbudakan Zaman
Dalam praksis politik dewasa ini, kebebasan pribadi dalam memilih termasuk keterikatan kebebasan orang Kristen menghadapi arus tantangan zaman yang demikian kuat. Praksis politik dalam arena Pemilukada tanpa disadari telah menggerogoti kebebasan yang kita miliki. Tanpa sadar, kebebasan kita bukan lahir dari nurani tapi lebih dipengaruhi oleh strategi politik para kandidat dan Tim Sukses / Tim Kampanye yang terkadang menghalalkan segala cara. Kebebasan kristiani yang harusnya terikat dengan ketentuan moral Kristiani atau kehendak Ilahi melepas ikatannya dan berganti mengikatkan diri pada ilah zaman berwujud uang, sembako dan bentuk bantuan lainnya.
Politik kita sekarang ini mengandalkan kekuatan finansial. Berita-berita di koran lokal, sering menyebut calon tertentu siapkan sekian milyar. Fakta-fakta Pemilukada di beberapa tempat mengindikasikan aksi bagi-bagi sembako, uang dan bujukan materi lainnya, halmana ternyata masih sulit dicegah bahkan disentuh dengan piranti hukum kita yang kurang tegas ditambah lagi kelihaian para aktor politik membungkus rapi “bingkisan money politics”. Tanpa sadar konstituen (pemilih) sedang diperbudak oleh ilah zaman, ilah materialisme.
Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka kita sedang melakukan pembiaran terhadap arus kapitalisasi demokrasi politik. Sehingga, akan terformat bahwa yang bisa menjadi gubernur atau wakil gebernur haruslah orang yang memiliki kapital / modal, bukan terutama mereka yang memiliki integritas moral dan kecakapan memimpin. Lebih daripada itu, kita sedang membiarkan nurani manusia yang tak ternilai menjadi seharga 5kg beras atau seharga Rp. 50.000,- Rp. 250.000. Pun, jika kita membiarkan aksi money politics terjadi, itu berarti kita telah turut mengantarkan pemimpin kita ke jurang korupsi dan tanpa sadar kita telah sedang menggiring mereka kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yah, karena modal yang mereka keluarkan pasti akan berusaha mereka dapatkan kembali bahkan lebih daripada itu, mereka harus mendapatkan untung dari jabatannya. Untuk hal ini, kita telah melihat buah-buahnya.
Kita menjadi seperti orang Israel yang sementara dituntun keluar dari tanah perbudakan mesir tapi justru merindukan untuk kembali ke Mesir. Kita menjadi umat yang telah dibebaskan tetapi masih mau mengenakan kuk perhambaan – menjadi hamba manusia. Kita menjadi orang bebas yang  menggunakan kebebasan kita untuk berbuat dosa. Kita yang telah menjadi milik Tuhan yang diberi harta kebebasan namun menyalahgunakan kebebasan itu ! Kita yang telah lunas dibayar oleh pengorbanan Tuhan dan otomatis menjadi miliknya rela menjual kebebasan itu.....  Kita akhirnya menjadi tak berdaya ketika melihat pemimpin kita yang terpilih karena membeli suara kita tak bisa berbuat banyak untuk kesejahteraan kita dan rakyat umumnya, selain berbuat banyak untuk mengumpul pundi-pundi pribadi dan kelompoknya.
Maukah kita terus terhanyut dalam situasi ini ? Jika tidak maka gereja harus mengambil langkah konkrit menenatang money politics. Bukan hanya mengutus para calon yang adalah warga gereja tanpa membekali mereka.


·         “Ya Tuhan, Tunjukanlah....”, Keluar dari Perbudakan Zaman, Menuju Kebebasan Kristiani
Kebebasan yang kita miliki termasuk kebebasan untuk memilih pemimpin kita haruslah dimaknai sebagai kebebasan Ilahi yang tak bisa dibeli oleh siapapun. Kebebasan kita – sekali lagi – hanyalah boleh bergantung pada kehendak Sang Pembebas yang telah berkorban untuk kita. Kita meyakini, bahwa pemerintah sebagai wakil Allah dan karena itu juga, kuasa untuk menentukan siapa yang akan duduk dalam kursi pemerintahan adalah wewenang Tuhan (Authority of God) sebagai yang berhak menunjuk wakilNya yang kepada dia Tuhan berkenan. Kita mengemban tanggung jawab dalam kebebasan kita untuk menjadi alat Tuhan menetukan wakil Tuhan. Kita hanyalah hamba Tuhan yang seharusnya menurut apa yang menjadi kehendakNya.
Bagaimana kita mengetahui kehendak Tuhan ?
Belajarlah dari apa yang dilakukan para murid dan umat Tuhan lainnya dalam pemilihan murid pengganti Yudas. Mereka berdoa memohon petunjuk Tuhan, “Ya Tuhan , Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini.....”. Karenanya, menjadi sangat penting doa – doa pribadi sehubungan dengan Pemilukada, untuk memohonkan terang Ilahi mengenai siapa yang selakyaknya yang Tuhan kehendaki untuk dipilih menjadi pemimpin.
Tuhan pasti punya cara menunjukan kepada kita, siapa yang layak kita pilih lewat proses indera kita, lewat hati dan pikiran  kita dan akhirnya keputusan kita saat berada dalam bilik suara. Tentu saja lebih elegan jika kita berusaha mencari tahu siapa dan bagaimana seluk beluk dari para kandidat, mencari tahu rekam jejak mereka, membandingkan dan memutuskan siapa yang akan kita pilih. “semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik...”
Jadilah pemilih yang bertanggungjawab...........
(Oleh: Meidy Y. Tinangon)

***)Penulis, Anggota Jemaat GMIM “Tiberias” Kiniar Wil. Tondano, sekarang bekerja sebagai Dosen di UKI Tomohon dan sebagai komisioner KPU Kab. Minahasa (anggota)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar