Oleh: Meidy Yafeth
Tinangon
Beberapa
waktu lalu, pemerintah kita mencanangkan Gerakan Ayo Kerja, yang juga menjadi tema peringatan HUT
Kemerdekaan negeri ini yang ke -70. Pemaknaan dari tema tersebut, kaitannya dengan
kemerdekaan adalah berkaitan dengan kemerdekaan substansial yang terkandung
dalam tujuan berbangsa: masyarakat adil
dan makmur. Yah, masyarakat adil makmur atau kemerdekaan substansial
rakyat, akan ditentukan oleh satu kata kerja yaitu kerja ! Simpelnya, mau
merdeka (makmur, sejahtera), no other
way, harus kerja !!!
Namun ,
Gerakan Ayo Kerja diakui penuh dengan tantangan.
Karena, jika kita bicara tentang kerja maka akan sangat berhubungan dengan
kontra kondisinya yaitu pengangguran (unemployment).
Ajakan singkat: ayo kerja menurut hemat penulis, pertama-tama ditujukan kepada
warga yang tidak bekerja alias nganggur, kemudian kepada mereka yang bekerja, dengan
maksud untuk tetap bekerja keras dan cerdas.
Pengangguran,
jelas merupakan tantangan bagi gerakan ayo kerja. Di Sulawesi Utara,
berdasarkan data BPS Sulut sebagaimana diekspos metrotvnews.com (7/5)
menguraikan bahwa hingga Februari 2015 jumlah pengangguran di
Sulut mengalami kenaikan sebanyak 22,6 ribu orang jika dibandingkan jumlah
pengangguran pada Februari 2014.
Pengangguran
Sulut Februari 2015 tercatat bertambah 18,4 ribu jika dibandingkan dengan
Februari 2014. Hingga Februari 2015 jumlah pengangguran Sulut mencapai 102,6
ribu orang lebih tinggi jika dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu
yang hanya 84,2 ribu orang.
Kondisi di
atas, tentu saja menjadi keprihatinan bersama dan menjadi tantangan bagi bangsa
Indonesia pasca 70 tahun merdeka. Angka tersebut akan bertambah jika tidak
ditangani secara serius. Mengingat setiap tahun, jumlah angkatan kerja terus
bertambah sementara ketersediaan lapangan kerja belum bisa dipastikan.
Dalam konteks
ini, maka Gerakan Ayo Kerja harus memberikan perhatian kepada beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, fokus pada penciptaan lapangan kerja di sektor wirausaha. Lapangan kerja akan hadir seiring dengan meningkatnya
investasi dan kegiatan pembangunan. Namun, hal tersebut tidaklah cukup,
pemerintah harus meningkatkan usaha pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) calon
pekerja secara sistematis untuk bertransformasi dari mentalitas pencari peluang
(opportunity seeker) menuju
mentalitas perancang peluang (opportunity
maker). Masyarakat yang akan memasuki gelombang angkatan kerja baru dibina
paradigma berpikirnya dari sebelumnya pasif menanti terbukanya lapangan kerja
menjadi lebih aktif dan kreatif membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya maupun
orang lain.
Berbagai skill yang potensial dan prospektif
harus diinternalisasi dalam diri para angkatan pekerja baru. Setelah disiapkan
menjadi insan yang terampil dalam bidang kerja yang prospektif, maka pemerintah
perlu memiliki good will dalam
kebijakan pembangunan dengan mengalokasikan anggaran untuk modal usaha baik
dalam bentuk kredit maupun hibah (grant)
bagi kelompok-kelompok wirausahawan muda kreatif.
Hal ini
menuntut adanya realokasi anggaran dan perubahan struktur APBD dengan memberi
prioritas pada alokasi anggaran pengembangan kewirausahaan dan ekonomi kreatif.
Anggaran-anggaran rutin perlu dievaluasi dan jika ditemui adanya alokasi yang
tidak rasional maka porsi anggaran rutin perlu dikurangi. Hal ini berarti
mengurangi anggaran kegiatan konsumtif untuk dialihkan ke kegiatan produktif
yang menjadi prioritas. Demikian halnya dengan anggaran pembangunan fisik harus
disesuaikan dengan skala prioritas dan dilakukan efisiensi kemudian ditata
kembali (rebudgeting) untuk
dialokasikan ke kelompok binaan wirausaha produktif.
Untuk lebih
sistematis dan terukur, maka pemerintah wajib melakukan estimasi jumlah
angkatan kerja di tahun anggaran berikutnya. Dalam konteks ini peran bank data / data base SDM sangatlah diperlukan.
Dengan estimasi yang akurat, maka pemerintah akan mengetahui jumlah angkatan
kerja yang akan bertambah, yang berpotensi menjadi insan yang tidak menikmati
kemerdekaan bahkan potensial menjadi generasi yang hilang (lost generation) ketika mereka menjadi pengangguran.
Ketersediaan
angka estimasi jumlah angkatan kerja, akan membantu pemerintah dalam merancang
program kelompok-kelompok wirausaha muda beserta estimasi anggaran yang
dibutuhkan. Ketika APBD tidak cukup, maka pemerintah bisa melirik kerjasama
dengan BUMN / BUMD atau perusahaan swasta dengan meminta mereka mengarahkan
program CSR (Community Social
Responsibility) ke arah pengembangan ekonomi kreatif wirausaha muda. Selain
itu, pemerintah di Sulut bisa bekerjasama membentuk program kredit khusus
wirausaha muda.
Kedua, fokus mengembangkan pendidikan
berorientasi kerja. Hal ini penting karena, umumnya harapan orang tua maupun
peserta didik ketika menyekolahkan
anaknya, adalah agar supaya peserta didik setelah lulus sekolah bisa
mendapatkan pekerjaan.
Antaranews.com
merilis bahwa tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan di Provinsi Sulawesi Utara
(Sulut) mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun sebelumnya. Mengacu pada
data BPS Sulut, disebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka penduduk usia 15
tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan sejak 2013-2015 hingga
Februari 2015 sebesar 8,69 persen yakni lebih tinggi dibandingkan Agustus 2014
hanya 7,54 persen. Yang menarik adalah, prosentasi tingkat pengangguran terbuka
(TPT) terbesar ada pada lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yaitu 17,23
persen yakni lebih tinggi dari tahun lalu hanya 14,07 persen. Kita ketahui
bahwa lulusan SMK disebut-sebut sebagai lulusan yang diperlengkapi dengan skil
siap pakai ! siap kerja !!
Angka
pengangguran terbuka secara lengkap hingga Februari 2015 adalah: untuk yang berpendidikan sekolah dasar (SD) pada Februari
2015 mencapai 4,52 persen yakni lebih besar dibandingkan Agustus 2014 hanya
3,54 persen. Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) mencapai 12,28 persen pada Februari 2015 yakni lebih besar ketimbang
Agustus 2014 hanya 10,65 persen. Sedangkan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)
mencapai 12,28 persen yakni lebih tinggi dibandingkan Agustus 2014 hanya 10,65
persen. Bagi tamatan diploma I hingga III tingkat penganggurannya sebesar 12,63
persen dari tahun lalu hanya 6,29 persen. Kemudian tamatan universitas mencapai
9,69 persen.
Kondisi ini
tentunya memprihatinkan. Pendidikan kita dan pendidikan saja ternyata belum
menjamin warga untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal, sejak dulu kita
mengagung-agungkan pendidikan sebagai pintu masuk ke dunia kerja atau sebagai
jaminan masa depan dan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini tentu saja dipengaruhi
banyak faktor. Lapangan kerja yang terbatas yang bersinggungan dengan
ketersediaan tenaga kerja yang tidak seimbang, ditambah lagi invasi dan
kompetisi memperebutkan dunia kerja yang sulit dibatasi oleh wilayah geografis-administratif.
Angkatan kerja di Sulut, sering kalah bersaing dengan tenaga kerja dari luar
daerah. Contohnya: buruh proyek-proyek besar lebih banyak berasal dari luar
daerah. Dibukanya Alfamart dan Indomaret di beberapa kota di Sulut tidak
seluruhnya menggunakan tenaga kerja lokal.
Langkah yang
kiranya perlu dipertimbangkan adalah memikirkan lagi orientasi sekolah dan
perguruan tinggi kita. Perlu transformasi orientasi bagi lembaga pendidikan,
dari sebelumnya berorientasi penguasaan IPTEKS semata, bertransformasi menjadi
berorientasi kerja. Maksudnya, sekolah dan perguruan tinggi kita harus turut
menjadi fasilitator bagi tersedianya lapangan kerja, atau mampu memfasilitasi
sampai pada penciptaan lapangan kerja pasca penamatan (after graduate). Lembaga pendidikan formal harus sampai pada suatu
tujuan bahwa ketika menamatkan sekolah atau perguruan tinggi, lulusannya
langsung mendapatkan pekerjaan atau mampu menciptakan bentuk usaha sendiri
(wirausaha). Dengan konsep ini, maka diharapkan akan menekan jumlah lulusan
sekolah / perguruan tinggi yang berpredikat sebagai pengangguran.
Jika dua fokus
di atas, yaitu penciptaan lapangan kerja dan pendidikan berorientasi kerja,
maka niscaya kedepan kita akan melihat hadirnya generasi pekerja yang bukan
hanya siap kerja melainkan generasi yang bekerja. Dengan demikian, maka
cita-cita Gerakan Ayo Kerja, benar-benar
akan mewujud dan bukan hanya slogan atau pencitraan semata. (***)
Penulis, (Ketua
Gerakan Minahasa Muda; Dosen UKI Tomohon; Ketua KPU Kab Minahasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar