Petuah tempo dulu, “mengalah untuk menang” rasanya sulit ditemukan di jaman sekarang. Jaman penuh ego dalam lautan kompetisi !
Di pentas olahraga misalnya, tim yang mengalah pastinya kalah, bukan
menang. Mana ada tim sepakbola yang akan menang dalam pertandingan jika mereka
mengalah, berdiam diri, tak menyerang dan membiarkan pihak lawan memasukan bola
ke gawang. Di pentas politik, kandidat akan berlomba-lomba untuk menang dalam
Pemilihan. Siapa yang mengalah, berdiam diri, besar kemungkinan akan kalah,
bukan menang. Di aspek hidup lainnya, hasrat untuk menang sangat dominan,
hingga ke bilik-bilik rumah.
Umat Kristiani
pada hari Minggu, 12 April 2020 akan merayakan Paskah, hari besar keagamaan
yang lazim disebut pesta kemenangan. Disebut ‘pesta kemenangan’, karena Paskah
merupakan perayaan kebangkitan Tuhan Yesus setelah sebelumnya disalibkan dan
mati. Yesus yang disalibkan dan mati itu bangkit dan menang melawan kuasa maut (kematian).
Tidak salah, jika saya menyebut kemenangan Yesus adalah karena Dia mengalah. Kalah menderita dan mati namun menang ketika bangkit.
Yesus yang Mengalah
untuk Menang
Kesaksian kitab
Injil membuktikan tidak ada perlawanan berarti dari Yesus sejak dia dihadapkan
kepada Mahkamah Agama. Tidak ada perlawanan berarti ketika dia diolok-olok dan
difitnah. Pun ketika dipaksa memikul salib hingga dipaku di kayu salib di Bukit
Golgota.
Yesus, Anak
Allah itu, yang kepadanya diberi kuasa dari Allah Bapa dengan bukti berbagai mujizat
selama 33 tahun pelayanannya, kemudian di masa-masa sengsaranya sama sekali tak
berdaya. Seharusnya, dengan kuasa yang ada dan belum dicabut tersebut, Dia
mampu melawan dan langsung menang terhadap orang-orang berkuasa lainnya yang
mau membunuhNya.
Disinilah titik pentingnya dari strategi kalah-menang. Orang
yang mengalah bukan orang yang sama sekali lemah dan tak punya power, otoritas
atau kekuasaan. Justru orang yang mengalah adalah orang yang memiliki kekuasaan
dan kemampuan untuk menang tapi tidak menggunakan kekuasaan dan kemampuannya
tersebut. Yesus punya kuasa untuk
menang, namun tidak menggunakan kuasa yang ada padaNya.
Sampai pada
titik ini. Kita mengkin berpikir bahwa hal mengalahnya Yesus merupakan sebuah skenario
dari Allah. Merupakan perkenanan Allah Bapa. Merupakan penggenapan nubuat,
sebagaimana nubuatan kitab-kitab Perjanjian Lama seperti Kitab Mazmur, Yesaya,
Zakaria dan Mikha. Benar demikian, dan justru disinilah sifat pertama dari
karakter “mengalah” Yesus, yaitu mengalah dalam pengertian tunduk pada skenario
atau perintah BapaNya.
Sengsara,
kematian hingga kebangkitan Kristus merupakan penggenapan nubuat demi terwujudnya
misi karya agung dan kasih Allah untuk
manusia dan dunia yaitu penebusan dosa dan penyelamatan manusia. Karena misi
itu mampu dilakukan Yesus, maka Dia disebut juga Sang Juruselamat Dunia.
Juruselamat yang menyelamatkan dunia dengan mengalah, rela mati namun menang
ketika bangkit !!!
Kisah Yesus yang
“kalah untuk menang” sesunggunya juga, merupakan sebuah teladan tentang
kemampuan mengendalikan egoisme dari seorang yang punya Kuasa. Mengendalikan
diri, merendahkan diri dan kemudian mampu mengampuni, ketika dalam deritanya di
atas kayu salib Dia berdoa untuk mereka yang menyalibkan Dia: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka
tidak tahu apa yang mereka perbuat“.
Dengan
demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa karakter mengalah untuk menang dalam peristiwa
Jumat Agung dan Paskah Kristus meliputi mengalah dalam pengertian tunduk pada perintah
Allah, mengalah dengan tidak menggunakan kekuasaan, mengalah dari egoisme diri
dan merendahkan diri, hingga mengalah dengan
mengampuni.
Makna
Paskah dalam Gumul Covid-19
Bukan
kebetulan, perayaan minggu-minggu sengsara, Jumat Agung dan Paskah bagi umat
Kristen bertepatan dengan gumul masyarakat dunia akibat pandemi Coronavirus
disease (COVID-19) atau Covid-19. Bagaimana relevansi karakter atau gaya hidup mengalah
untuk menang dalam menghadapi pandemi global tersebut ?
Mengalah
dengan membiarkan Covid-19 menginfeksi
seluruh penduduk bumi tentu saja bukan pilihan. Sejak diciptakan, manusia telah
diberi mandat untuk berkuasa atas ciptaan lainnya. Hikmat dan pengetahuan telah
dianugerahkan kepada manusia Homo sapiens. Tinggal bagaimana anugerah
itu kita kelolah dalam menghadapi tantangan hidup.
Dalam
perspektif ilmu pengetahuan, Virus hanya mampu dilawan dengan antivirus plus
sistem kekebalan tubuh manusia. Tidak ada perang terbuka antara manusia dengan
mahluk mikro ini yang berpotensi dimenangkan manusia, sekalipun setiap manusia
punya sistem kekebalan tubuh. Transmisi antar manusia demikian mudahnya terjadi
melalui kontak bahkan melalui udara dalam jarak tertentu. Karenanya strategi
yang dianjurkan oleh WHO dan Pemerintah adalah mengalah untuk menang melawan
Covid-19. Yah, mengalah dengan diam #dirumahaja.
Butuh
kemampuan melawan egoisme diri, yang terbiasa bebas lalu lalang lintas rumah,
desa, kota bahkan negara. Egoisme, Seremoni, Kultur dan Sakralisme institusi
yang dikendalikan manusia, termasuk intitusi keagamaan harus mengalah. Work
From Home dan Stay At Home hingga Worship At Home.
Yah, harus
mengalah dengan tinggal di rumah saja. Kerja di rumah saja. Bahkan ibadah bukan
di gedung gereja, tapi dari rumah saja. Jika hal itu tidak dilakukan maka kita
berpotensi terjangkit Covid-19 dan berpotensi kalah…
Dirumah saja, mengalah
tunduk pada perintah penguasa, sekalipun kita punya kuasa dan kehendak bebas (free
will) untuk tetap di luar rumah. Meski kita punya kuasa menjadi oposisi untuk
melawan.
Dirumah saja sambil
merenung mungkin juga selama ini disaat jabat tangan belum dilarang kita tak
mau mengalah keluar rumah untuk sebuah insiatif berdamai sambil jabat tangan
dan rangkul erat saudara kita.
Dirumah saja adalah
sikap mengalah untuk menang melawan Covid-19. Yah, mengalah untuk menang
sebagaimana Yesus yang mengalah sampai mati namun akhirnya menang melawan maut.
Mengalah untuk menang masih relevan untuk dunia yang butuh perdamaian.
Selamat
merayakan Paskah, selamat mengalah #DirumahAja untuk menang melawan Covid-19,
sambil berdoa badai Covid-19 pasti berlalu segera di 2020....
Tondano, 11 April 2020